Aku Merancang Drone, Tapi Aku Ingin Dunia Damai: Curhat Intelektual Muda
Di balik kemajuan teknologi yang kian pesat, banyak anak muda yang tumbuh dengan kecintaan terhadap inovasi. Salah satunya adalah mereka yang berkutat di dunia rekayasa drone. Ya, drone—pesawat kecil tanpa awak yang bisa terbang, mengambil gambar dari atas, hingga mengirim paket. Namun, ada sisi lain dari drone yang membuat hati seorang intelektual muda bergejolak: potensi penggunaannya untuk perang.
Sebagai seorang mahasiswa teknik elektro atau teknologi kedirgantaraan, merancang drone adalah bagian dari mimpi besar. Menggabungkan sensor, kamera, motor penggerak, hingga kecerdasan buatan adalah tantangan intelektual yang menyenangkan. Ada kebanggaan saat drone pertama berhasil terbang. Apalagi jika mampu terbang stabil, mengenali wajah, atau menghindari rintangan secara otomatis. Hebat, bukan?
Namun, di sisi lain, ada suara kecil dalam hati yang bertanya: "Kalau teknologi ini digunakan untuk menyerang? Untuk menjatuhkan bom? Untuk membunuh tanpa pilot?"
Itulah dilema yang dirasakan banyak intelektual muda saat ini. Mereka bisa membuat teknologi canggih, tetapi tidak semua dari mereka ingin menciptakan alat yang berpotensi merusak kedamaian.
Di era sekarang, drone memang digunakan dalam berbagai bidang. Di bidang pertanian, drone menyemprot pupuk dan memetakan lahan. Di sektor logistik, drone mengantar barang ke daerah terpencil. Di dunia film, drone membuat gambar dari atas yang memukau. Namun sayangnya, tak bisa dipungkiri bahwa drone juga digunakan dalam peperangan modern. Bahkan, negara-negara besar berlomba-lomba menciptakan drone militer yang makin canggih.
Intelektual muda yang berpikiran jernih pun mulai mempertanyakan arah dari teknologi ini. Apakah kita hanya akan menjadi pion di tengah perlombaan senjata tanpa sadar? Atau kita bisa memilih jalan lain: menciptakan drone untuk kemanusiaan?
Keinginan untuk damai bukan berarti menolak kemajuan. Justru, kemajuan seharusnya digunakan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Bayangkan, jika drone bisa membawa obat ke daerah terpencil, membantu tim SAR mencari korban bencana, atau mengawasi hutan dari kebakaran. Bukankah itu lebih mulia?
Banyak anak muda yang akhirnya memutuskan untuk merancang teknologi dengan hati. Mereka ingin menjadi ilmuwan yang punya arah moral, bukan sekadar pengikut tren. Mereka percaya bahwa teknologi yang hebat tidak hanya soal kecepatan atau daya ledak, tapi juga soal makna dan manfaatnya bagi umat manusia.
"Aku merancang drone, tapi aku ingin dunia damai" bukan sekadar kalimat puitis. Itu adalah curahan hati generasi yang ingin pintar sekaligus bijaksana. Yang ingin membuktikan bahwa kemajuan tak harus diiringi kekerasan. Bahwa teknologi bisa menjadi alat penyambung, bukan pemisah.
Dunia butuh lebih banyak anak muda seperti ini. Mereka yang berpikir, mencipta, tapi juga merasa. Mereka yang bertanya, bukan sekadar mengerjakan. Karena di tangan mereka, masa depan bukan hanya canggih, tapi juga manusiawi.
Komentar
Posting Komentar